Monday, November 30, 2015

Iskandar Muda dari Aceh

Yang Mulia Paduka Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam

Sultan Iskandar Muda (AcehBanda Aceh,1593 atau 1590 – Banda AcehAceh27 September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimanadaerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.Namanya kini diabadikan di Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda diAceh.

Asal usul keluarga dan masa kecil.

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.

Ibunya, bernama putri raja indra bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat SyahSultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimanaAbdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-KahharSultan Aceh ke-3.

Pernikahan

Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Masa kekuasaan

Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan masa paling gemilang bagiKesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir baratMinangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerahbarat laut Indonesia.Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai jauh kePenang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Masjid Raya Baiturrahman merupakan salah satu bangunan bersejarah yang di bangun oleh Sultan Iskandar Muda pada masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam

Kontrol di dalam negri

Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (AcehImeum).Ulèëbalang (MelayuHulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.

Hubungan dengan bangsa asing.

Inggris

Pada abad ke-16, Ratu InggrisElizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Ratu Elizabeth I juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".

Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatradan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya keBelanda. Rombongan tersebut dipimpin olehTuanku Abdul Hamid.

Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka ia dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam ia terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang MuliaPangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.

Utsmaniyah turki

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap SultanUtsmaniyah yang berkedudukan diKonstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air bersih dari sumber mata air di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh dimana kanal tersebut melintasi istananya, sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitarMeuligoe. Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Kutipan : Maté aneuk meupat jeurat, maté adat pat tamita
Artinya: mati anak ada makamnya, mati adat ke mana hendak dicari. Ia mengucapkannya saat menjatuhkan hukuman rajam kepada anandanya Meurah Pupok yang berzina dengan isteri seorang perwira.

Sejarah Masa Keemasan Kesultanan Aceh Darussalam, 1496–1903

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan & menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Kesultanan Aceh Darussalam merupaken sebuah kerajaan Islam yg pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja [Banda Aceh] dengan sultan pertamanya ialah Sultan Ali Mughayat Syah yg dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507.

Dalam sejarahnya yg panjang itu [1496-1903], Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah & menakjubkan, terutama karena kemampuannya dlm mengembangkan pola & sistem pendidikan militer, komitmennya dlm menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yg teratur & sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, sampai kemampuannya dlm menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yg bernama Salahuddin, yg kemudian berkuasa sampai tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yg berkuasa sampai tahun 1568.

Kemunduran Kesultanan Aceh

Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera & Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli & Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Traktat London yg ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India & juga berjanji tak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura. Pada akhir November 1871, lahirlah apa yg disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas “Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan. ”

Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh & digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda. Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang. Pada tahun 1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di ibukota Hindia Timur Belanda [Indonesia] segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dlm Republik indonesia atas ajakan & bujukan dari Soekarno kepada pemimpin Aceh Sultan Muhammad Daud Beureueh saat itu.

Masa kejayaan, Sultan Iskandar Muda, Berhasil Melawan Kekuatan Portugis di Selat Malaka

Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda [1607-1636]. Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dlm La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda [Sumatera, Jawa & Kalimantan] serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yg melayari Lautan Hindia.

Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yg terdiri dari 500 buah kapal perang & 60. 000 tentara laut. Serangan ini dlm upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka & semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Malaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang. Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan & ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yg karangan mereka menjadi rujukan utama dlm bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dlm bukunya Tabyan Fi Ma’rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dlm bukunya Mi’raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dlm bukunya Sirat al-Mustaqim, & Syekh Abdul Rauf Singkili dlm bukunya Mi’raj al-Tulabb Fi Fashil.

Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 sesudah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tak berhasil merebut wilayah yg besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, & pada 1892 & 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yg telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para ulama, & hormat kepada sultan.

Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Gubernur Jendral Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, mendapat pangkat Tuanku Tijan, & bersama wakilnya, Hendrikus Colijn, yg mendepat pangkat Tuanku Niman untuk menata Aceh. Pada tahun 1903 Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda sesudah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya berada dlm kegelapan pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Sultan Aceh keturunan Perak

Sultan Alauddin Mansur Syah ibn Ahmad 1577 / 1579 -1589 / dibunuh sekitar 1586 Putra Sultan Ahmad, Sultan Perak 1549-1577.

Dinasti Makota Alam

Sultan Ali Mughayat Syah 1496-1528 / 7 Agustus 1530 Pendiri kerajaan, putera dari Syamsu SyahSultan Salahuddin ibn Ali Malik az Zahir 1528 / 1530 -1537 / 1539 putra dari No. 1. Wafat tanggal 25 November 1548.Sultan Alauddin ibn Ali Malik az ZahirSultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar 1537-1568 / 28 September 1571 putra dari No. 1 & adik dari No. 2.Sultan Ali ibn Alauddin Malik az ZahirSultan Husain Ali Riayat Syah 1568 / 1571 -1575 / 8 Juni 1579 putra dari No. 3.Sultan Muda 1575 / 1579 putra dari No. 4. Baru berumur beberapa bulan pada saat dijadikan sultan.Sultan Sri AlamSultan Firman Syah ibn Alauddin 1575-1576 / berkuasa hanya pada 1579 putra dari No. 3. Juga merupaken Raja PariamanSultan Zainal Abidin ibn Abdullah 1576-1577 / berkuasa hanya pada 1579 cucu dari No. 3. Putra Sultan Abdullah Raja Aru

Sultan Aceh keturunan Inderapura

Sultan Ali ibn Munawar SyahSultan Buyung 1589 / 1586 -1596 / 28 Juni 1589 anak seorang raja Indrapura. [Sultan Munawar Syah]

Dinasti Darul-Kamal

Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil 1596 / 1589 -1604 cucu dari saudara ayahnya No. 1. putra dari Firman Syah, keturunan Inayat Syah, raja Darul-Kamal.Sultan Ali Riayat Syah 1604-1607 putra dari No. 10.

Peleburan dari kedua dinasti tersebut

Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam 1607-27 Desember 1636 cucu [melalui ibu] dari No. 10 & cicit dari No. 3 melalui ayah.

Sultanah Aceh

Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam 1641-1675 Putri dari No. 12 & istri dari No. 13Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam 1675-1678Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah 1678-1688Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah 1688-1699 Saudari angkat dari No. 16, istri dari No. 18,serta ibu dari No. 19 & No. 20

Sultan-sultan Aceh Dinasti Syarif

Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin 1699-1702 Suami dari No. 17, serta ayah dari No. 19 & No. 20Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui 1702-1703Sultan Jamalul Alam Badrul Munir 1703-1726Sultan Jauharul Alam Aminuddin 1726Sultan Syamsul Alam 1726-1727

Sultan Aceh keturunan Pahang

Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah 1636-15 Februari 1641 putra Sultan Pahang, Ahmad Syah II. Menantu dari No. 12 & suami dari No. 14.

Sultan Aceh keturunan Bugis

Keturunan sultan-sultan terakhir Aceh yg masih memiliki garis keturunan Bugis.

Sultan Alauddin Ahmad Syah 1727-1735Sultan Alauddin Johan Syah 1735-1760 putra dari No. 23Sultan Mahmud Syah 1760-1764 putra dari No. 24, ditumbangkan olehSultan Badruddin Johan Syah 1764-1765 dipulihkan & dikembalikan kepadaSultan Mahmud Syah 1765-1773Sultan Sulaiman Syah 1773 dipulihkan & dikembalikan lagi kepadaSultan Mahmud Syah 1773-1781Alauddin Muhammad Syah 1781-1795 putra dari No. 25Sultan Alauddin Jauhar al-Alam 1795-1823 putra dari No. 28. Wali dari No. 27 sampai tahun 1802. Digugat olehSultan Syarif Saif al-Alam 1815-1820Sultan Alauddin Jauhar al-Alam 1795-1823 Dikembalikan posisinya dengan bantuan Raffles, Inggris.Sultan Muhammad Syah 1823-1838 putra dari No. 29.Sultan Sulaiman Syah 1838-1857 putra dari No. 31. Wali dari No. 33 sampai 1850, digugat oleh No. 33 pada 1870Sultan Mansur Syah 1857-1870 putra dari No. 29.Sultan Mahmud Syah 1870-1874 putra dari No. 32.Sultan Muhammad Daud Syah 1874-1903 cucu dari No. 33. Wali dari Tuanku Hasyim sampai 1884. Ditangkap oleh Belanda & turun takhta pada 1903

Gelar Kesulatanan Aceh

CutLaksamanaPanglima SagoeUleebalangMeurahTeungkuTuankuTeuku

AWAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN ACEH


gambar
2.1 Awal Mula Berdirinya Kerajaan Aceh
Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden, 2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)

2.2 Masa Kejayaan Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan Aceh (Harry Kawilarang, 2008: 21-22)
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U AdyanSyamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-ImanNuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil(http://ridwanaz.com/umum/sejarah/sejarah-kerajaan-aceh-pada-masa-kejayaan-dan-keruntuhannya/)
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan (Poesponegoro: 2010, 31)
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara (Harry Kawilarang, 2008: 24)