Thursday, December 17, 2015

Legenda Aceh di Gunung Berbentuk Gadis Tidur Telentang

Legenda Aceh di Gunung Berbentuk Gadis Tidur Telentang

Liputan6.com, Aceh Selatan - Tapaktuan, sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh ini penuh sejarah, cerita, dan legenda rakyat. Tapaktuan dikenal juga dengan sebutan Kota Naga. Nama Tapaktuan tidak lepas dari cerita dan legenda Tuan Tapa dan 2 ekor naga raksasa.

Di ibukota Aceh Selatan ini, terdapat sejumlah tempat wisata yang memiliki banyak cerita. Ada pantai Tapak Tuan Tapa, air terjun 7 tingkat, Pulau Dua, Batu Berlayar, dan makam Tuan Tapa.

Di bibir pantai Tapak Tuan Tapa, terdapat jejak telapak kaki raksasa berukuran sekitar 4 x 3 meter. Tapak kaki manusia ini berada di atas bebatuan karang pantai.

Menurut juru kunci wisata Tapak Tuan Tapa, Chaidir Karim, Tuan Tapa sejatinya adalah seorang manusia biasa. Dia juga memiliki ukuran tubuh seperti manusia pada umumnya, bukan seorang raksasa. Hanya saja, dia diberikan kelebihan oleh Allah karena ketaatannya, ketakwaannya, dan keimanannya terhadap Sang Maha Penguasa Jagat Raya.

"Banyak orang yang menganggap Tuan Tapa itu manusia raksasa. Tapi sebetulnya menurut cerita dari orang-orang terdahulu Tuan Tapa itu seperti kita. Hanya saja dia diberi kelebihan oleh Allah saat membantu manusia yang bertarung melawan 2 ekor naga," cerita Chaidir kepada Liputan6.com saat berkunjung ke wisata Tapak Tuan Tapa, Aceh Selatan, Sabtu 21 Maret 2015.

Di lokasi tersebut, konon hidup seekor gurita raksasa yang diyakini sebagai penjaga Tapak Tuan Tapa. Gurita tersebut tidak mengganggu masyarakat yang berkunjung asalkan tidak melakukan kemaksiatan maupun hal yang melanggar norma-norma.

Percaya atau tidak, hal mistis di luar nalar kerap terjadi di lokasi Tapak Tuan Tapa ini. Agustus 2014 lalu, 2 pengunjung terseret gelombang besar. 1 Orang berhasil diselamatkan dan 1 lainnya tewas. Jasadnya baru ditemukan 3 hari setelah kejadian. Pengunjung tersebut sebenarnya sudah diperingatkan oleh juru kunci. Namun mereka mengabaikannya.

"Ya, namanya kuasa Allah. Tidak ada yang tahu. Yang penting pengunjung di sini tidak melanggar aturan, tidak maksiat, tidak takabur. Sebelumnya 2 anak itu sudah saya peringatkan, hati-hati karena cuacanya kurang bagus meski saat itu gelombang terlihat tenang," ucap Chaidir.

Bukti kekuasaan Allah lainnya terlihat saat bencana tsunami 2004 lalu. Kota dengan luas 92,68 kilometer persegi ini terlindungi oleh Pulau Simeulue. Gelombang tsunami terpecah saat membentur pulau tersebut sehingga intensitasnya berkurang saat sampai di bibir pantai Kota Tapaktuan.

Namun kisah lain menyebutkan, seorang saksi mata melihat ada sosok berjubah putih besar tinggi di lokasi tongkat Tuan Tapa yang berada sekitar 1 kilometer di dasar laut dari tempat wisata Tapak Tuan Tapa. Sosok tersebut terlihat tengah menengadahkan tangan berdoa kepada Allah saat tsunami, sehingga Tapaktuan terhindar dari bencana maha dahsyat itu.

Lokasi wisata Tapak Tuan Tapa ini masih sangat alami. Pepohonan tumbuh rindang di sekitar lokasi di bukit yang berada di atas tapak. Untuk bisa mencapai ke tapak, pengunjung harus melintasi bebatuan besar dan batu-batu karang, tapi sebagian rute dari pintu masuk sudah dibangun jalan setapak dengan cor semen.

"Dulu sebelum saya ke sini, tempat ini tidak terawat. Ini dulu dijadikan tempat pembuangan sampah. Alhamdulillah renovasi dan pembangunan jalan ini dapat dari bikin proposal ke pemerintah provinsi," ujar juru kunci itu.

Jarak lokasi tapak raksasa dari pintu masuk wisata Tapak Tuan Tapa sekitar 1 kilometer dan ditempuh dengan berjalan kaki. Kendaraan bisa diparkir di halaman samping pos juru kunci. Pengunjung diimbau mematuhi aturan dan peringatan yang terpasang di pintu masuk. Juga diminta berpakaian sopan dan tidak berbuat maksiat di lokasi.

Legenda di Gunung Gadis Tidur Telentang

Bicara Kota Tapaktuan tidak lepas dari legenda putri naga dan seorang petapa sakti. Kisah ini sudah menjadi sejarah lisan masyarakat pesisir Aceh Selatan secara turun temurun.

Konon menurut cerita, hiduplah seorang petapa sakti. Ia bertapa di sebuah gunung yang kini dikenal dengan Gunung Tuan. Jika dilihat secara cermat, gunung tersebut mirip seorang gadis yang tidur telentang dengan rambut panjang terurai.

"Kalau dilihat dari Gunung Lampu, Gunung Tuan itu kelihatan seperti putri yang sedang tidur. Ini kalau nggak ketutup kabut puncaknya, bentuknya bisa kelihatan seperti gambar ini," kata Chaidir sambil menunjukkan gambar di buku legenda Tuan Tapa dan Putri Naga yang ia tulis.

Menurut cerita, banyak orang yang ingin mendatangi puncak Gunung Tuan namun tak ada yang berhasil. Hanya orang yang tersesat atau tak sengaja yang bisa mencapai puncaknya. Di atas gunung terdapat buah-buahan yang jika dimakan orang tersebut bisa kembali pulang. Namun jika buah itu hendak dibawa pulang, maka ia akan kembali tersesat.

Legenda Naga mengisahkan tentang sepasang naga jantan dan betina yang mendiami teluk Tapaktuan. Keduanya diusir dari China karena tidak memiliki keturunan. Suatu ketika kedua naga ini mendapati sesosok bayi perempuan terapung di lautan kemudian dipelihara dengan penuh kasih sayang hingga menjadi seorang gadis cantik.

Suatu ketika sebuah kapal datang dari Kerajaan Asralanoka di India Selatan di mana sekitar 17 tahun sebelumnya sang raja kehilangan bayi yang hanyut ke laut. Sang raja mengenali gadis yang dirawat naga sebagai anaknya yang hilang dari tanda lahir di telapak kakinya.

Raja Asralanoka bermaksud meminta kembali gadis yang diyakini sebagai anaknya. Namun sepasang naga itu menolak karena sudah menganggap sebagai anaknya sendiri. Sang raja kemudian berusaha membawa lari gadis itu ke kapalnya. Ini membuat kedua naga tersebut marah dan terjadilah pertarungan hebat hingga mengusik ketenangan seorang petapa di Gunung Tuan.

Tuan Tapa melihat peperangan hebat antara penumpang kapal dan sepasang naga. Ia kemudian berusaha melerai dan melompat ke sebuah gunung -kini disebut Gunung Lampu- dengan membawa tongkat dan pecinya. Ia membujuk naga mengembalikan gadis ke orangtuanya. Namun naga justru menantang Tuan Tapa. Pertarungan sengit pun tak terhindarkan.

Dalam pertarungan itu, naga jantan berhasil dikalahkan. Naga jantan mati terbunuh akibat pukulan tongkat Tuan Tapa. Tubuhnya hancur berserakan dan darah berceceran menyebar memerahkan tanah, bebatuan, bukit, dan juga air laut. Hati dan tubuh naga hancur berkeping-keping yang kini telah menjadi bebatuan dan bisa dijumpai di pesisir Desa Batu Itam dan Batu Merah sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Tapaktuan.

Begitu pula sisa pijakan kaki Tuan Tapa hingga kini masih terlihat di wisata Tapak Tuan Tapa. Tongkat dan pecinya yang kini menjadi batu berada sekitar 1 kilometer dari lokasi tapak.

Sementara itu, sang naga betina yang melihat pasangannya tewas segera melarikan diri kembali ke negeri Tiongkok. Saat melarikan diri, ia mengamuk dan membelah sebuah pulau menjadi 2 yang kini disebut Pulau Dua. Ia juga memporak-porandakan pulau besar hingga menjadi 99 pulau kecil. Kini gugusan pulau tersebut disebut masyarakat sebagai Pulau Banyak di Kabupaten Aceh Singkil.

Sekitar seminggu setelah kejadian tersebut Tuan Tapa menghilang di sekitar Gunung Lampu. Sebagian besar masyarakat meyakini Tuan Tapa sakit dan dimakamkan di dekat Gunung Lampu tepatnya di depan Mesjid Tuo, Gampong Padang, Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan. Makam dengan ukuran sekitar 14 x 4 meter itu hingga kini masih sering didatangi peziarah baik lokal maupun mancanegara.

"Sebetulnya itu bukan makam tapi lokasi terakhir Tuan Tapa menghilang. Tapi banyak orang menganggap itu sebagai kuburan Tuan Tapa," kata Chaidir.

Makam Tuan Tapa pernah mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Hindia Belanda. Pada 2003 lalu mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono alias SBY pernah berziarah ke makam keramat itu.

Setelah pertempuran itu, sang gadis yang kini dikenal sebagai Putri Bungsu atau Putri Naga dikembalikan kepada orangtuanya, Raja Asranaloka. Namun mereka tidak kembali ke kerajaan, melainkan memilih tinggal di pesisirnya. Keberadaan mereka diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan. Sementara kapal sang raja kini telah menjadi batu yang terletak di Desa Damar Tutung sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Tapaktuan. (Riz)
sumber liputan6.com

Warisan Sejarah Aceh Banyak Tersebar di Luar Negeri



Ist /
BANDA ACEH – Aceh di bawah Kesultanan Aceh Darussalam pernah memimpin sejumlah daerah di Nusantara. Aceh juga memiliki cukup banyak manuskrip warisan sejarah. Namun, hingga kini sebagian besar manuskrip dan benda-benda sejarah tersebut masih tersebar di luar negeri.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Reza Fahlevi, Senin (3/8), mengatakan sebagian besar benda dan manuskrip bersejarah saat masa Kesultanan Aceh Darussalam, umumnya tersimpan di perpustakaan-perpustakaan luar negeri. “Kami berniat mengembalikan sebagian besar benda-benda bersejarah tersebut ke Aceh. Kami akan membangun kerja sama dengan perpustakaan-perpustakaan yang masih menyimpan sejarah Aceh tersebut,” tutur Reza Fahlevi.

Menurutnya, sebagian besar manuskrip dan benda bersejarah milik Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Peureulak, Kerajaan Samudera Pasai, dan lainnya dibawa keluar Aceh sebelum masa perang kemerdekaan.

“Saat perang, sebagian besar manuskrip dan benda bersejarah tidak terjaga dan dibawa orang ke luar negeri. Beberapa di antaranya memang tersimpan di pustaka-pustaka luar negeri,” katanya.

Salah satu cara pemulangan manuskrip-manuskrip bersejarah Aceh, bisa dilakukan dengan menjadikannya berbentuk digital. Ini seperti yang pernah dilakukan satu perpustakaan di Belanda.

Reza Fahlevi mengakui, memulangkan benda-benda bersejarah tersebut memang bukan perkara mudah. Ini membutuhkan biaya dan sumber daya manusia cukup banyak. Selain itu, penyimpan benda-benda bersejarah tersebut belum tentu mau menyerahkan koleksi mereka untuk dibawa pulang ke Aceh.

Dalam waktu dekat, pihaknya akan mendata benda-benda dan manuskrip bersejarah Aceh yang masih tersimpan di luar negeri. “Kami akan bekerja sama dengan semua pihak, termasuk pakar sejarah untuk mendata benda-benda warisan sejarah itu,” ujarnya.

Selain melakukan pendataan manuskrip dan benda-benda warisan sejarah Kesultanan Aceh Darussalam dan kerajaan-kerajaan lainnya, Dinas Kebudayaan Aceh sedang mendata ratusan makam dan nisan kuno yang tersebar di Aceh. Nisan-nisan kuno tersebut dapat dijadikan destinasi wisata dan tempat dilakukannya berbagai penelitian sejarah.

Tahun ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh bersama sejumlah lembaga terkait, seperti Universitas Syiah Kuala termasuk komunitas sejarah dan budaya, sedang melakukan kajian tentang jejak sejarah kerajaan-kerajaan sebelum Islam masuk ke Aceh; seperti kerajaan Hindu-Buddha di Lamreh, Kabupaten Aceh Besar yang sering disebut Kerajaan Lamuri.

Sumber : Sinar Harapan

Sejarah Lahirnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka)



Bicara GAM (Gerakan Aceh Merdeka), mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Dibawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan. Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ”Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.”
Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Teuku Nyak Arief Gubernur di bumi Serambi Mekkah.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?
Masih ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei 2003 lalu.Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh.Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya. Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya.Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977,GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus). Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL. Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.
Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina — Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom — Aceh Barat — dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Senjata-Senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung. Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI. Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh. Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha ”sahabat GAM” itu. Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal total.
Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal. Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.
sumber: Ikhwanesiadotcom

Sejarah Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Aceh (bahasa BelandaAtchin atau Achehbahasa InggrisAchinbahasa PerancisAchen atau Achehbahasa ArabAsyibahasa PortugisAchen atau Achembahasa TionghoaA-tsi atau Ache)[1][2] yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh diperkirakan memiliki substrat (lapis bawah) dari rumpun bahasa Mon-Khmer [3] dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari Hikayat AcehHikayat Rajah Aceh dan Hikayat Prang Sabi yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalamnaskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Prang Sabi (Aceh: Hikayat Perang Sabil) mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
Ada yang percaya bahwa asal usul orang Aceh adalah "suku Mantir" (atau dalam bahasa Aceh: Mantee)[5] yang dikaitkan dengan "Mantera" di Malaka dan orang berbahasa Mon-Khmer.[6] Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.

Jejak Sejarah Aceh di Kota Salem, Amerika Serikat (1653 M)


"...Seperti tersembunyi dibalik debu sejarah, tidak banyak yang tahu bahwa Aceh dan Kota Salem, Massachusetts, Amerika Serikat mempunyai hubungan yang sangat erat di masa lampau..."


Oleh Abdul Razak M.H. Pulo (*

Terkhusus dalam hal perdagangan lada. Sanking eratnya, hingga logo Kota Salem pun menggunakan simbol-simbol Aceh. Benarlah Aceh punya sejarah gilang gemilang di masa lalu.

Berawal dari sebuah tag di Facebook oleh teman saya, Safar Manaf, saya tertarik menelusuri lebih lanjut bagaimana hubungan antara Aceh dengan Salem. Atau lebih layak dikatakan hubungan Aceh dengan Amerika Serikat pada waktu itu, mengingat hal-hal yang terjadi di kemudian hari melibatkan Pemerintah Amerika Serikat dibawah pimpinan Presiden Jackson.

Safar Manaf dalam blognya menulis secara singkat mengenai sejarah Kota Salem. Uraian sejarah tersebut bisa diakses dengan mengklik tab “City Seal” (lambang kota) - *disni] pada website kota Salem. Berikut adalah terjemahan versi Safar Manaf terhadap teks tersebut:

Pada tahun 1654 (Masa pemerintahan Sultanah Safiatu'ddin), Elihu Yale mengirim dua karyawannya ke Atjeh, kerajaan merdeka termegah di Sumatera, untuk menjalankan perdagangan lada. Muatan lada terakhir memasuki Salem, Massachusetts dari Sumatera pada 6 November 1846 (Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syah), diangkut oleh kapal Lucilla. Salem telah memegang peranan utama dalam perdagangan lada sejak Pemimpin Salem memulai bisnis ini. Begitu pentingnya posisi Salem saat itu, seratus tahun (se-abad) kemudian, orang-orang di Australia masih menyebut biji merica dengan panggilan “lada Salem”.

Lambang Kota Salem, Massachusetts
Kenyataannya, Jika kita menelisik kembali lambang kota Salem, kita akan menemukan gambaran seorang Atjeh.

Pada puncak perdagangan lada, Dewan Kota memerintahkan untuk menciptakan sebuah segel yang menggambarkan Sebuah kapal yang sedang berlayar, mendekati pantai yang digambarkan dengan seseorang yang berdiri di antara pepohonan di mana kostumnya menunjukkan wilayah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur", motto ‘Divitis Indiae usque ad ultimum sinum’ … yang berarti “Menuju pelabuhan terjauh di Timur yang kaya…

George Peabody, anak dari pedagang lada yang disegani, dan dia sendiri juga memiliki kapal pengangkut lada, melukis desain seorang pria memakai serban merah rata, celana panjang merah dan ikat pinggang merah, jubah kuning sebatas lutut dan baju luar warna biru. Tidak ada masyarakat lain di Hindia Timur yang memiliki pakaian semirip ini yang lebih mendekati selain masyarakat Atjeh, dan mungkin itulah maksudnya.

Hanya dokumen resmi kota Salem yang dibenarkan memakai Lambang kota tersebut. Adalah termasuk pelanggaran hukum Negara dan Peraturan Lokal, jika memakai lambang ini pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan urusan resmi Kota Salem. Pegawai Kota adalah penjaga Emblem Kota.

Perdagangan, bisnis, di manapun dan kapanpun ternyata menyimpan intrik-intrik yang bisa menghancurkan hubungan yang terbina baik sejak lama. Keinginan untuk mengeruk keuntungan pribadi dan politik dagang telah membuat hubungan Aceh dan Amerika Serikat retak.

Salem Harboroil on canvasFitz Hugh Lane, 1853.Museum of Fine Arts, Boston. 

Aceh pernah digempur Amerika Serikat akibat politik dagang dan provokasi Belanda. Pelabuhan Kuala Batu di Susoh, Aceh Selatan rata dengan tanah. Menurut M Nur El Ibrahimy dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, setiap tahun diangkut sekitar 42.000 pikul atau sekitar 3.000 ton. Pusat perdagangan itu di Pelabuhan Kuala Batu, Susoh.
Dudley L. Pickman (1779–1846)
Sejak tahun 1829, karena harga lada di pasaran internasional merosot, jumlah kapal Amerika yang datang ke pelabuhan Aceh mulai menurun. Di antara kapal yang datang dalam masa kemerosotan ekonomi itu adalah kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sering membawa kapalnya ke Aceh.

Pada 7 Februari 1831 kapal Friendship milik Silsbee, Pickman, dan Stone di bawah pimpinan nakhoda Charles Moore Endicot, seorang mualim yang sering membawa kapalnya ke Aceh, berlabuh di pelabuhan Kuala Batu, Aceh Selatan.

Ketika Endicot dan anak huahnya berada di daratan, tiba-tiba kapal tersebut dibajak oleh sekelompok penduduk Kuala Batu. Akan tetapi, dapat dirampas kembali oleh kapal-kapal Amerika yang kebetulan saat itu berada di perairan Kuala dengan kerugian sebesar US $ 50.000 dan tiga anak buahnya terbunuh.

Peristiwa itu kemudian menimbulkan sejumlah tanda tanya. Pasalnya, selama setengah abad menjalin hubungan dagang belum pernah terjadi perompakan seperti itu. Menurut M Nur El Ibrahimy, ada beberapa penyebab terjadinya peristiwa tersebut.

Pertama, peristiwa itu dipicu oleh kekecewaan orang Aceh yang selalu ditipu oleh Amerika dalam perdagangan lada.

Itu hanya satu faktor. Penyebab lain, Belanda berhasil memprovokasi orang Aceh untuk menyerang kapal-kapal Amerika. Tujuannya, Belanda ingin merusak nama baik Kerajaan Aceh sehingga terkesan tidak mampu melindungi kapal asing yang berlabuh di Aceh.

Andrew Jackson for President U.S in 1822
Tentu saja Kerajaan Aceh sibuk memberi klarifikasi. Belakangan, diketahui Belanda yang membayar dan mempersenjatai kapal Aceh yang dinakhodai Lahuda Langkap untuk menyerang kapal Amerika dengan menggunakan bendera Kerajaan Aceh.

Kejadian ini membuat kerugian besar di pihak Amerika Serikat dan beberap kru kapal tewas di tangan perompak. Hal ini menyebabkan kemarahan besar di pihak Amerika.

Senator Nathanian Silsbee, salah seorang pemilik kapal Friendship dan Partai Whip (Partai Republiken) yang beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Jackson, sekaligus seorang politikus yang sangat berpengaruh pada masa itu, langsung menyurati Presiden Jackson pada tanggal 20 Juli 1831.

Subuh 6 Februari 1832, sebanyak 260 orang marinir Amerika di bawah pimpinan Shubrick, komandan kapal perang terbaik Amerika saat itu, Potomac, membumihanguskan pelabuhan Kuala Batee, Susoh, Aceh Barat dibawah perintah langsung Presiden Amerika Serikat, Andrew Jackson.

Bagaimanapun, hubungan Kerajaan Aceh dengan Amerika Serikat sudah terbina sejak lama. Dan bukti nyata hubungan tersebut terpatri dalam logo Kota Salem, Massachusetts. Akankah sejarah kejayaan “lada” Aceh kembali terulang? (*/tgj.co.id)

Penulis seorang dokter asal Aceh, FK Unsri, Palembang.

Referensi:
1. culacalo-tuleih.blogspot.com/2012/04/aceh-emblem-kota-salem.html
2. en.wikipedia.org/wiki/Salem,_Massachusetts
3. www.salem.com/pages/index
4. www.salemweb.com/community/city.shtml
5. www.terbaca.com/2011/09/kisah-serang-usa-ke-aceh.html

Sumber: @atjehcyber | fb.com/atjehcyberID 

Tewasnya Gadjah Mada di Kerajaan Aceh Tamiang

Aceh kaya dengan kisah yang melegenda, kisah rakyat banyak yang belum tertulis dan atau diketahui secara meluas. Dalam kisah kisah yang dituturkan oleh rakyat umumnya sarat makna sebagai cerminan filosofi kehidupan mereka. Demikian juga halnya dengan asal usul negeri Tamiang dan bagaimana perseteruan antara Raja dengan pasukan Maja Pahit dan terkoneksi dengan kabar Putri Raja yang jelita, akankah menjadi pertimbangan spesifik da pasukan Gajah Mada, itulah hal terusik dar menelusuri legenda ini.
Tamiang pada awalnya merupakan satu kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaan dibawah pimpinan seorang Raja Muda Setia yang memerintah selama tahun 1330 – 1366 M. Pada masa kerajaan tersebut wilayah Tamiang dibatasi oleh daerah-daerah :
Sungai Raya / Selat Malaka di bagian Utara
Besitang di bagian Selatan
Selat Malaka di bagianTimur
Gunung Segama ( gunung Bendahara / Wilhelmina Gebergte ) di bagian Barat.

Asal usul Tamiang
“Tamiang” adalah sebuah nama yang berdasarkan legenda dan data sejarah berasal dari “Te – Miyang” yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun bambu Betong (istilah Tamiang bulooh) dan Raja ketika itu bernama Tamiang Pehok lalu mengambil bayi tersebut. Setelah dewasa dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar Pucook Sulooh Raja Te – Miyang, yang artinya seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal.
Sumber lain, mengapa dikatakan -Tamiang- karena raja pertama tersebut memiliki pipi yang sebelah hitam yang disebabkan oleh miyang bambu (rumpun bambu yang gatal). Jadi “Tam” berarti hitam dan “Miyang” berarti rumpun bambu. Maka dijadikanlah sejarah nama daerah tersebut dengan nama “Tamiang”.
Tidak ada yang tahu secara pasti kapan Raja Muda Setia wafat. Alkisah menceritakan, ketika musuh memasuki wilayah kerajaan. Raja sedang asyik bermain cantur dengan istrinya. Tidak lama dari itu, burung beo selaku hewan kesayangan Raja menginformasikan bahwa ada pihak musuh yang mendekat. Berhubung Raja merasa sudah memperkuat barisan pertahanan pintu masuk, maka sedikitpun tidak ada kecemasan mengingat laporan apapun belum didengar dari para pasukan terpercayanya. Sehingga perkataan seekor hewan diacuhkan kendatipun sang istri telah mengingatkan.
Melalui tokoh hebat pada masa itu, musuh masuk melalui jalur yang tidak disangka-sangka. Yakni jalur rimba yang tak mungkin dilalui oleh orang sembarangan. Mereka melakukan perjalanan menggunakan perahu yang berjalan didaratan. Tampak perahu yang mendekat pada istana membuat jalan yang dilintasinya terbelah dan berubah menjadi sungai. Mungkin inilah asal mula sungai Tamiang khususnya yang berhaluan di Desa Benua Raja.
Dengan memasukkan istrinya ke dalam kendi kecil seukuran kantung. Raja Muda Sedia beserta Permaisuri Potuan Suri Meuru Meligai dan beberapa pengawal berhasil menyelamatkan diri berlayar kearah hulu sungai di kaki Gunung Senggama dengan menggunakan daun keladi sebagai perahu yang juga melaju didaratan. Tapak keladi itu menjadi anak sungai yang menjadi bukti nyata bahwa sang Raja memang berada didaerah tersebut.

Putri Raja yang Jelita dan Madja Pahit
Raja Tamiang memiliki seorang putri yang sangat cantik permai. Dialah yang bernama Potuan Putri Meuga Gema yang lebih dikenal dengan Putri Rindu Bulan. Pesona kecantikannya mampu membuat siapa saja lupa akan indahnya rembulan. Sehingga wajarlah jika julukan Lindung Bulan melekat padanya. Dikemudian hari nama itu dinobatkan menjadi SMU Negeri 1 Kejuruan Muda dengan nama SMU Lindung Bulan yang terletak di Kampung Durian Kecamatan Rantau Aceh Tamiang.
Putri Rindu Bulan yang dikabarkan akan ditunangkan dengan pangeran kerajaan Perlak menjadi sorotan raja-raja dibeberapa kerajaan untuk mempersunting tak terkecuali Patih kerajaan Maja Pahit yang dikenal dengan sumpah palapanya, Gadjah Mada.
Menurut lisan leluhur, sebab umum pasukan Maja Pahit yang memasuki kawasan Aceh Tamiang dikarenakan panglima tersebut hendak mempersatukan Nusantara hingga rela tak mengkonsumsi buah kelapa. Namun dibalik itu ternyata sebab khususnya adalah karena lelaki yang dipercaya sebagai pemersatu bangsa itu terpikat atas keindahan dan kecantikan putri bungsu Raja Muda Sedia yaitu Putri Lindung Bulan untuk dijadikan hadiah bagi sang raja, Prabu Hayam Wuruk.
Alkisah disuatu masa setelah Gadjah mada mengucapkan Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara, maka Gadjah Mada beserta pasukan kerajaan Maja pahit yang jumlah nya ribuan menyerbu raja-raja yang berkisar kepulauan Jawa. Setelah puas dengan kemenangannya maka Madja Pahit segera menyebar ke kawasan pulau sumatera dan pulau-pulau lainnya, saat itu hampir keseluruhan pulau sumatra dikuasai oleh kerajaan Aceh, yang menaungi kerajaan-kerajaan kecil lainnya.
Satu persatu kerjaan dari palembang, padang tumbang dihancurkan dan ditaklukkan oleh sang Panglima Gadjah Mada. Suatu hari tibalah pertarungan oleh Pasukan kerjaan Maja Pahit dengan Pasukan kesultanan Deli, namun kesultanan Deli tidak mampu bertahan lama dan akhirnya juga takluk.
Pasukan Gajah Mada terus menjelajah, selanjutnya penyerangan itu berlanjut ke Tamiang dengan berpangkalan di daerah Manyak Payet. Penyerangan berawal ketika Putri Bungsu Lindung Bulan yang kecantikannya luar biasa itu tersiar ketelinga Patih Gajah Mada. Karena pinangan itu ditolak oleh Raja Muda Sedia, Gajah Mada merasa tersinggung lalu menyerang Karajaan Benua Tamiang.
Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dikirimlah seorang utusan ke kuta radja untuk meminta bantuan bala tentara. Sultan Aceh menyetujui mobilisasi pasukan khas didampingi oleh 7 panglima perang yang kononnya punya ilmu kebal. Selang bebarapa minggu berhadapanlah pasukan Gadjah Mada dengan pasukan Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Hantom Manoe. Hantom Manoe bukanlah nama aslinya, melainkan nama yang diambil dari kata hana mano sebab panglima tersebut dilarang mandi guna menjaga kekebalan tubuhnya.
Perang berkecamuk dengan hebatnya selama tujuh hari tujuh malam, dan akhirnya Gadjah Mada terbunuh ditikam oleh panglima Kerjaaan Aceh. Dan pasukan kerajaan Maja Pahit mundur teratur untuk balik ke kampungnya dan meratapi kesedihan akibat kekalahan. Untuk mengenang kemenangan kerajaan aceh terhadap pasukan Gadjah Mada dari kerajaan Maja Pahit tersebut, maka kampung/ lokasi tempat pertempuran di daerah Aceh Tamiang tersebut dinamakan menjadi kampung Manyak Pahit, adobsi dari nama kerajaan Maja Pahit. Kampung ini sampai sekarang masih ada di Aceh Tamiang tidak jauh dari kampung Pahlawan kecamatan Karang Baru.
Maja Pahit diambil dari buah maja yang pahit, namun oleh panglima kerajaan aceh kawasan tersebut dipelesetkan menjadi Manyak Pahet, yang artinya anak kecil yang pahit. Mungkin cuma untuk menunjukkan bahawa Gadjah Mada dan pasukannya terhenti di Kawasan ini, ataupun mungkin karena dialek orang Aceh yang kesusahan untuk mengucakan kata-kata Maja Pahit secara fasih dan akhirnya menjadi Manyak Pahet.
Pada cerita rakyat pada umumnya, Gadjah mada menghilang karena menuju Nirwana (terbang kesurga akibat bertapa dan menjadi dewa) namun hal tersebut menurut pengalaman lisan leluhur Aceh Tamiang; merupakan kedok dari pasukan Gadjah Mada untuk menjaga moral dan nama baik agar tetap tinggi dan tidak malu akibat gagalnya Gadjah Mada memenuhi sumpah Palapa.
Tentang kebenaran cerita tersebut, siapa yang tahu jika tidak dilakukan penelitian sejarah secara lebih lanjut. Namun mendengar nama Desa Manyak Pahet dan hikayat cerita masyarakat disekitara kawasan sekiranya memang hal tersebut benar adanya. Namun sejarah Indonesia tidak pernah menceritakan apapun tentang tewasnya Gajah Mada di Kerajaan Aceh Tamiang. Yang ada hanya semangat dan sumpah palapa seorang patih Hayam Wuruk tersebut sebagai oknum yang dianggap pemersatu Nusantara.
Mohon maaf jika ada kesalahan penceritaan, kesalahan penyebutan nama dan sebagainnya. Mungkin legenda ini bisa dijadikan objek kajian para sejarawan atau pihak terkait untuk mengobservasi lebih lanjut akan kebenaran cerita sehingga memberi banyak pengetahuan dan kemasalahatan bagi orang banyak. [pascadunia]
Oleh: M. Anzaikhan

History Of Nanggroe Atjeh Darussalam